RSS

Food, Fashion, dan Fun: Dampak serta Usaha Pemberdayaan Produk Budaya Lokal

09 Feb

Ide tentang globalisasi yang mengusung semangat penyatuan umat manusia di dunia melalui teknologi dan ekonomi mungkin adalah sebuah ide yang menarik dan bagus. Dalam semangat globalisasi, perbedaan-perbedaan mulai menjadi hal yang tidak penting lagi. Semua umat manusia melihat manusia dari ras dan bangsa lain sebagai rekan yang saling menguntungkan dalam pergaulan internasional. Pergaulan-pergaulan manusia yang terjadi tidak lagi dibatasi oleh jarak dan waktu, melainkan dengan kemajuan teknologi, pergaulan manusia seakan tanpa batas dan pembentukan relasi individu antarbangsa dan antarnegara bukanlah hal sulit dilakukan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perubahan cara berkomunikasi dan perkembangan teknologi yang mendukungnya yang memungkinkan arus informasi mengalir dengan bebas dan sangat cepat.

Akan tetapi, di sisi lain, globalisasi ini tampaknya mempunyai dampak negatif yaitu terjadinya kecenderungan homogenisasi budaya. Globalisasi memicu terjadinya interaksi antara dua budaya yang sangat berlainan karakternya. Sudah menjadi hukum alam, jika dua hal yang berbeda bersinggungan, berinteraksi, maka tidak akan pernah ditemui sebuah titik kesetimbangan mutlak. Secara langsung maupun tidak, pasti ada kecenderungan dominasi satu sama lain. Hal ini nampaknya juga terjadi pada interaksi budaya tersebut. Budaya tertentu tiba-tiba saja mendominasi budaya yang lain. Budaya yang mendominasi tersebut pada akhirnya menjadi budaya yang dilegitimasi sebagai budaya yang benar dan identik dengan kekinian. Sedang budaya yang didominasi menjadi sesuatu “yang lain” (the other) yang dianggap memiliki posisi subordinat dan merepresentasikan kekunoan. Karena adanya satu budaya dominan yang dianggap benar dan merepresentasikan kekinian (up to date), maka segala macam produk budaya tersebut akan secara pelan-pelan mendominasi produk-produk budaya yang subordinat. Salah satu yang bisa dijadikan contoh dari peristiwa ini adalah munculnya fenomena gelombang F3 (Food, Fashion, Fun) atau makanan, fesyen, dan hiburan.

Gelombang F3

Gelombang F3 saat ini benar-benar menjadi sesuatu yang fenomenal. Di sana-sini bertebaran berbagai macam produk makanan, fesyen, dan hiburan dengan label internasional. Produk-produk ini banyak sekali disukai karena dianggap identik dengan sesuatu yang bersifat kekinian dan memiliki prestise yang tinggi. Tak pelak, hadirnya produk-produk ini membuat banyak sekali produk lokal—yang seringkali dianggap berkualitas buruk dan kelas dua—menjadi terpinggirkan. Hal ini tampaknya menjadi sebuah permasalahan di negara-negara berkembang—yang jika menggunakan terminologi negara paman Sam disebut sebagai negara-negara dunia kedua dan ketiga.

Munculnya gelombang F3 sebenarnya bukan semata-mata disebabkan oleh kuatnya pengaruh budaya negara-negara maju seperti Amerika, Prancis, dan lainnya, namun lebih disebabkan oleh pengaruh teknologi komunikasi dan informasi (TIK), serta budaya konsumerisme yang mulai mengakar pada setiap orang. Teknologi informasi dan komunikasi memainkan peranan yang sangat penting terhadap tersebarnya gelombang F3 ini, terutama melalui berkembangan jaringan komunikasi dan inovasi di bidang periklanan. Jika pada jaman dahulu orang-orang hanya berkomunikasi melalui telepon kabel dan melihat iklan melalui media cetak serta baliho, maka dengan perkembangan TIK yang terjadi saat ini, orang-orang berubah cara komunikasinya yaitu melalui melalui telepon genggam dan jaringan internet, serta bisa melihat iklan langsung dari telepon genggam atau komputer pribadinya. Perkembangan ini tentunya sangat menguntungkan bagi para produsen produk-produk tersebut. Saat ini mereka bisa menjangkau para konsumen potensialnya bahkan dengan cara yang sangat pribadi. Hal itu membuat tingkat efektivitas iklan semakin meningkat dan diharapkan mampu meningkatkan daya jual produknya. Mark Paterson dalam bukunya yang berjudul Consumption and Everyday Life (37) mengatakan:

Advertising has been described as the poetry of capitalism. If advertising constructs products in the minds of consumers, it requires the complicity of the mass media. It subsequently becomes translated into consumer choices at the level of everyday life.

Iklan telah diartikan sebagai puisi dari kapitalisme. Jika iklan menciptakan produk-produk di benak para konsumen, ia memerlukan keterlibatan media massa. Hal ini kemudian diterjemahkan ke dalam pilihan konsumen pada tingkatan kehidupan sehari-hari.

Apa yang kemudian menjadi sorotan Paterson adalah bahwa melalui iklan-iklan tersebut ternyata identitas-identitas budaya tertentu terbentuk. Sebagai contoh, dalam iklan parfum Hugo selalu ditampilkan sosok pria yang berbadan atletis dan berdandan necis ala eksekutif. Hal ini seakan mengisyaratkan bahwa produk parfum tersebut ditujukan untuk orang-orang “eksekutif” yang merupakan golongan tertentu dari masyarakat. Eksklusivitas dimunculkan dalam iklan tersebut yang pada akhirnya menyebabkan munculnya identitas tertentu terkait produk itu.

Ekses dari hal di atas adalah munculnya pola konsumsi yang lebih bertujuan untuk mendapatkan posisi tertentu di masyarakat (positional consumption), yang mana dalam kasus di atas adalah keinginan untuk dianggap eksklusif. Dari pola konsumsi ini muncul apa yang disebut dengan false needs consumption atau konsumsi suatu barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Barang-barang yang dibeli menjadi bukanlah barang yang dibutuhkan, melainkan barang-barang yang diinginkan (Paterson 10-43). Pola konsumsi seperti ini adalah pola konsumsi yang berlebihan sehingga muncul sebuah budaya konsumerisme.

Tentu saja, budaya konsumerisme ini sangat memudah persebaran F3. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, produk-produk makanan, fesyen, dan hiburan tersebut merupakan produk-produk yang dianggap memiliki kualitas baik dan mewakili tren masa kini. Oleh karena itu, produk-produk tersebut telah menciptakan identitasnya sendiri sebagai produk yang melambangkan kekinian, up to date, dan gaul. Produk-produk tersebut seakan ingin mengatakan bahwa “jika ingin dianggap gaul, maka belilah aku”. Orang-orang yang sudah akrab dengan paradigma konsumerisme tentunya sangat mudah mencerna pesan ini untuk kemudian menterjemahkannya ke dalam tindakan membeli produk-produk tersebut.

Dengan berbagai keunggulan dan situasi yang mendukung persebaran F3 tersebut, tampaknya produk-produk itu akan terus menciptakan status quo dan tidak mungkin digoyahkan kedudukannya. Namun apakah benar demikian? Saya percaya tidak! Pasti ada hal yang bisa kita lakukan untuk memberdayakan produk-produk lokal kita agar bisa bersaing. Untuk menemukan solusi yang tepat, setidaknya kita harus berlapang dada dengan mau belajar dari apa yang telah produk-produk internasional itu lakukan hingga menjadi seperti saat ini.

Food

Dewasa ini marak sekali gerai-gerai makanan waralaba internasional yang dibangun dan didirikan di Indonesia. Tidak semua gerai yang didirikan tersebut merupakan label-label baru. Banyak dari gerai itu merupakan milik perusahaan waralaba makanan yang telah lama beroperasi di Indonesia yang sedang mengembangkan usahanya. Salah satunya adalah McDonald’s. Menurut seorang teman yang bekerja di McDonald’s, perusahaan waralaba yang baru saja berganti manajemen tersebut dalam lima tahun ke depan akan mendirikan setidak 40 gerai baru di seluruh Indonesia. Bisa dibayangkan, bagaimana bisnis ini menjamur dan menggurita di negara kita.

Berkembangnya restoran waralaba internasional memang sebuah ancaman bagi produk-produk makanan lokal. Produk makanan kita terancam semakin terpinggirkan dan semakin tidak populer di kalangan kita sendiri. Akan tetapi, menurut saya, di sisi lain hal ini adalah sebuah peluang yang sangat bagus bagi kita untuk belajar dari kesuksesan mereka dan membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang memiliki potensi keunggulan dalam hal inovasi bisnis restoran dan ragam makanan yang tidak hanya bisa berteriak-teriak, menangis dengan keras, manakala produk-produk lokalnya terpinggirkan oleh seleksi “alam”. Terkadang banyak pengusaha makanan lokal kita yang terlanjur silau dengan nama besar perusahaan-perusahaan tersebut sehingga terkesan ketakutan jika menghadapi ekspansi bisnis mereka. Seharusnya setiap orang yang berniat memajukan bisnis makanan lokal tahu bahwa sebelum sebesar sekarang perusahaan seperti McDonald’s tersebut hanyalah sebuah stand hamburger biasa dan belajar dari apa yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut sehingga menjadi seperti sekarang.

Sejarah perjuangan McDonald’s menuju kesuksesan dimulai ketika pada tahun 1937 Dick dan Mac McDonald membuka sebuah stand hamburger yang dinamai “The Airdrome” di bandara Monrovia, California. Bangunan stand kemudian dipindah, dibangun menjadi restoran dan namanya diganti menjadi McDonald’s pada tahun 1940. Pada tahun 1948, ketika bisnis hamburger mereka terhitung berhasil, dua bersaudara ini malah menutup stand-nya lalu membukanya kembali beberapa bulan kemudian dengan menerapkan konsep baru dalam menjual hamburger yang mereka namai sebagai “Speedee Service System”. Dengan mengimplementasikan cara baru dalam membuat burger, yaitu dengan menggunakan semacam “jalur perakitan” hamburger, konsep ini memungkinkan untuk menyingkat waktu pelayanan. Konsep ini pada perkembangannya menjadi prinsip sistem pelayanan pada restoran cepat saji modern. Pada tahun 1953 McDonald’s mulai menjadi restoran franchise. Tahun 1954-1955 adalah sebuah rentang waktu yang sangat penting bagi sejarah perkembangan restoran ini. Pada rentang waktu tersebut bisnis franchise McDonald’s diambil alih oleh Ray Kroc, yang kemudian memformulasikan sistem bisnis bagi restoran tersebut yang ia beri nama McDonald’s System, Inc. Sistem bisnis ini jugalah yang hingga saat ini kita kenal sebagai sistem yang dijalankan oleh McDonald’s (“History of McDonald’s”, http://en.wikipedia.org).

Kita bisa menarik beberapa pelajaran berharga dari sejarah perjuangan McDonald’s tersebut yang bisa kita jadikan batu pijakan dalam memberdayakan bisnis makanan khas nusatara. Yang pertama, McD bukan sebuah perusahaan yang tiba-tiba menjadi besar. Ada proses lama di belakang semua kesuksesan tersebut. Para pemilik McD tampak sekali menyadari bahwa jika mereka ingin meraih sesuatu yang lebih besar, mereka harus berani berkorban dan melakukan inovasi-inovasi terhadap bisnisnya. Contoh nyata dari hal ini adalah penerapan  Speede Service System dan McDonald’s System, Inc.

Lalu bagaimanakah di dalam negeri? Mungkinkah inovasi tersebut di lakukan? Saya yakin sangat mungkin dilakukan. Pada awalnya resep restoran McD adalah resep keluarga. Artinya resep ini adalah resep tradisional. Di lain pihak, kita sebenarnya sangat kaya dengan resep-resep makanan tradisional, termasuk di antaranya adalah masakan padang yang sangat bergam itu. Dari sejarahnya, konsep restoran McD memang restoran siap saji, hal ini mungkin terjadi karena para pemilik McD menyadari perkembangan masyarakat modern yang selalu menginginkan hal yang serba instan. Di pihak kita, restoran padang sendiri sebenarnya juga memakai konsep siap saji. Sampai titik ini, kita sebenarnya sudah menemukan beberapa persamaan antara McD dengan restoran padang yang mungkin saja jadi kekuatan potensial kita dalam membangkitkan kejayaan kuliner nusantara. Hal yang mungkin masih harus dipikirkan dan masih memerlukan ruang untuk inovasi adalah apakah tidak sebaiknya konsep restoran padang saat ini mulai dirubah, kalau perlu seratus persen mengadaptasi konsep yang telah dilakukan McD dan restoran-restoran cepat saji lainnya.

Fashion

Permasalahan terbesar yang berkaitan dengan invasi F3 di bidang fesyen, menurut saya, bukanlah pada terpinggirkannya produk-produk lokal kita karena pangsa pasar produk kita yang dikuasai oleh mereka. Permasalahan sebenarnya adalah mereka berhasil menguasai pasar, karena kita tidak memiliki karya fesyen dalam jumlah masif yang mampu menandingi kualitas desain label-label internasional tersebut.

Ada sebuah cerita yang cukup membanggakan. Konon kabarnya, seragam klub sepak bola terbesar Inggris, Manchester United, merupakan buatan Indonesia. Jika hal ini benar, saya mengharapkan semoga saja benar, maka sesungguhnya ini sudah menunjukkan pada kita bahwa kualitas bahan pakaian dan jahitan para penjahit kita tidaklah bisa dikatakan luar biasa. Namun sayang sekali, apa yang mereka buat itu hanyalah seragam sepak bola yang notabene tidak memerlukan desain rumit dengan nilai estetika yang tinggi. Kalaupun seandainya kita memiliki produk fesyen, jika dibandingkan dengan baju produksi label Zara, misalnya, maka kita pasti akan langsung kalah. Penyebabnya bukan pada kerapian jahitan atau jeleknya bahan yang digunakan, namun pada desain yang terkesan nanggung.

Sebagai negara yang kaya akan hasil alam, kita sebenarnya memiliki hampir semua jenis bahan baku kain. Namun kenyataannya, hingga saat ini ketika kita sudah memintal benang dan menjadikannya lembaran kain, kita bingung mau mengapakannya. Permasalahan terbesar kita adalah kurangnya desainer baju-baju fesyen yang memiliki kompetensi tingkat internasional. Kita memang memiliki beberapa desainer kondang dengan karya yang setidaknya go ASEAN, namun jumlah mereka tidaklah banyak. Kita masih membutuhkan napas-napas baru para desainer yang peka terhadap perkembangan fesyen internasional, sehingga mampu menghasilkan karya yang mampu mengangkat produk lokal ke tingkat internasional.

Usaha untuk mengenalkan produk budaya lokal bidang fesyen ke internasional sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para desainer kita. Semenjak batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, batik kini menjadi primadona bahan pakaian. Hingga bahkan seringkali ditemui perlombaan desain baju dengan bahan dasar batik. Banyak anak muda yang mengikuti perlombaan tersebut dengan hasil-hasil desain yang sangat bagus untuk ukuran lokal. Jika saja itu bisa lebih didalami dan dikembangkan, saya optimis desain batik tersebut mampu disandingkan dengan desain baju karya Armani. Namun sayang sekali, hingga saat ini pembinaan ke arah hal tersebut masih kurang. Ini terbukti dengan seandainya ada pameran batik di luar negeri, pesertanya biasanya didominasi oleh para desainer yang sudah punya nama. Porsi untuk para anak muda yang masih butuh banyak pengalaman bisanya lebih sedikit.

Sebenarnya batik sendiri merupakan potensi yang sangat besar bagi daya saing fesyen kita di tingkat internasional. Batik merupakan bahan fesyen yang sangat unik yang tidak dimiliki oleh negara lain. Seharusnya keunikan itu merupakan sebuah nilai plus yang sangat besar bagi fesyen kita. Namun sekali lagi sayang, bahkan di negarinya sendiri batik saat ini masih banyak dianggap sebagai pakaian formal yang jauh dari kesan tren sehari-hari.

Penyebabnya mungkin, selain kurangnya desain berkualitas, adalah selama ini produksi batik secara masif masih diserahkan kepada unit-unit usaha kecil dan menengah yang kurang mendapat pembinaan mengenai desain dan mode fesyen terbaru. Walhasil, produksi baju batik di satu sisi memang sangat banyak, namun di sisi lain tidak ada baju dengan kualitas fesyen internasional yang dihasilkan.

Saya berharap pemerintah melakukan sesuatu berkaitan dengan hal ini. Kenapa pemerintah? Karena batik merupakan milik bangsa Indonesia yang telah menjadi warisan dunia. Untuk itu tidak salah seandainya pemerintah turun tangan langsung untuk memajukan fesyen lokal agak di kenal di tingkat internasional. Dalam bayangan saya, pemerintah membentuk sebuah BUMN yang bertanggungjawab membuat label besar, atau setidaknya bekerja sama dengan laber besar internasional, dan melakukan riset yang mendalam mengenai tren-tren desain baju terkini. BUMN tersebut juga berkewajiban mengkoordinasi para pengusaha kecil dan menengah serta memberikan pembinaan juga pelatihan terhadap pengetahuan fesyen terbaru, sehingga referensi model baju yang akan mereka produksi selalu up to date. Terakhir, badan usaha pemerintah ini akan mengumpulkan semua hasil-hasil produksi terbaik dari unit-unit usaha kecil dan menengah tersebut untuk selanjutnya didistribusikan di bawah label besar yang telah dibuat atau label besar internasional hasil kerjasama di atas. Dengan ini, harapan batik bisa digunakan artis internasional dalam produksi Hollywood mungkin saja bisa terjadi.

Fun

Di bidang hiburan, kita sepatutnya bangga bahwa kita memiliki seniman musik yang berkualitas internasional. Ini bisa kita lihat dengan banyaknya band pop kita yang menorehkan prestasi di tingkat ASEAN dan Asia. Prestasi paduan suara dan penyanyi solo kita malah jauh lebih membanggakan. Elfa’s Choir asuhan almarhum Elfa Secoria selalu menjadi langganan medali emas setiap kejuaraan paduan suara dunia. Medali emas pada kejuaraan menyanyi solo juga pernah diraih oleh Gita Gutawa. Diva pop Indonesia, Krisdayanti, dikenal memulai debutnya sebagai penyanyi profesional setelah memenangkan ajang ASIA BAGUS! Yang lebih membanggakan, konon Harvey Malaiholo pernah memenangkan juara pertama kejuaraan menyanyi internasional di Korea setelah mengalahkan Celine Dion dari Amerika Serikat dan Bryan Adams dari Inggris. Dari semua prestasi musik tersebut, kenyataanya lagu-lagu band kita setiap hari selalu mendominasi playlist radio-radio di Malaysia. Dengan kata lain, dari segi musik, walaupun kita “diserang” oleh produk-produk musik negar lain, namun produk lokal kita masih bisa bertahan dan sedikit melakukan dominasi di negara tetangga.

Akan tetapi, pada bidang hiburan kita masih harus menghadapi “invasi” hal lain, salah satunya adalah game atau permainan elektronik. Bisnis game berkembang cukup pesat di Indonesia. Dari tahun ke tahun penggemar game terus bertambah. Mulai dari game dengan menggunakan konsol seperti Play Station, Nintendo Wii, Nintendo DS, PSP, sampai game online seperti Point Blank dan Farmville di Facebook. Game-game tersebut memberikan kemudahan bagi kita untuk mendapatkan kesenangan (fun) dengan cara yang tidak terlalu rumit. Terlebih lagi, gam-game tersebut juga bisa membawa kita menuju dunia-dunia hyper-real, dunia yang sesuai dengan impian kita. Kita bisa menjadi seorang polisi yang mengejar penjahat, menjadi seorang superhero, menjadi seorang pemain sepak bola profesional, bahkan bisa menjadi penjahat dalam game tersebut.

Game-game tersebut tentunya mulai menggeser peran permainan tradisional anak-anak. Dan jika hal ini terus dibiarkan, maka lambat namun pasti kita bisa kehilangan permainan-permainan tradisional kita beserta nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Sekarang saja, gejala tersebut sudah mulai muncul. Saya tidak yakin semua anak yang bersekolah di wilayah perkotaan saat ini akan bisa menjelaskan apa dan bagaiman permainan jamuran itu.

Untungnya, sebuah langkah awal usaha melestarikan permainan-permainan tradisional tersebut telah dilakukan oleh komunitas Hong yang berada di Bandung, Jawa Barat. Komunitas ini mencoba menggali kembali permainan-permainan tradisional baik yang masih sering dimainkan maupun yang sudah hampir punah. Selain itu komunitas ini mengajak anak-anak untuk mempraktekkan permainan-perminan tradisional yang sarat makna tersebut secara langsung (“Komunitas Hong: Pusat Kajian Mainan Rakyat.” http://desaciburial.com).

Langkah yang ditempuh oleh komunitas Hong ini selayaknya didukung penuh dan diikuti oleh daerah lain. Setiap daerah seyogyanya memiliki komunitas seperti ini sehingga khasanah kebudayaan dalam bentuk permainan tradisional bisa dilestarikan dan dicegah kepunahannya. Memang bukan pekerjaan yang mudah, namun jika benar-benar dikelola dengan baik dan dilakukan dengan sepenuh hati, bukan tidak mungkin permainan-permainan tradisional tersebut akan populer kembali walaupun dalam scope yang tidak terlalu luas. Apalagi di pihak lain, saya optimis suatu saat akan timbul kejenuhan anak-anak terhadap permainan-permainan elektronik tersebut. Di usia  yang masih sangat enerjik tersebut bukan sifat alaminya untuk duduk berjam-jam memainkan joystick. Suatu saat mereka pasti merasa bosan, karena sebenarnya mereka membutuhkan aktivitas fisik yang lebih aktif untuk menyalurkan energinya. Nah, ketika saat itu tiba, yang mereka butuhkan adalah permainan-permainan tradisional.

 

Daftar Pustaka

“History of McDonald’s.” Wikipedia: The Free Encyclopedia. 27 Jan. 2011, 14:45. <http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_McDonald’s&gt; (28 Jan. 2011, 05:04).

“Komunitas Hong: Pusat Kajian Mainan Rakyat.” Desa Ciburial.com. <http://desaciburial.com/ komunitas-hong-pusat-kajian-mainan-rakyat/> (28 Jan. 2011, 08:12)

“McDonald’s History.” McDonald’s Official Website. <http://www.aboutmcdonalds.com/mcd/our_ company/mcd_history.html> (28 Jan. 2011, 05:00).

Paterson, Mark. Consumption and Everyday Life. London: Routledge, 2006.

 

 
Leave a comment

Posted by on February 9, 2011 in Just My Thoughts

 

Tags:

Leave a comment